Ancaman Buzzer Sosial Media Terhadap Ketahanan Nasional

Utamanews.id – Penggunaan media sosial dalam membangun opini publik belakangan ini bukan hanya digunakan untuk promosi saja, berkali-kali media social juga dikerahkan untuk membangun opini/Issue tertentu dimasyarakat yang bisa berdampampak baik contohnya penggunaan tagar #Dirumahaja yang massive digunakan ketika wabah Covid-19 mengancam. Penggunaan tagar tersebut dinilai relevan dalam membangun persepsi dimasyarakat untuk turut bersama dengan pemerintah mengatasi penyebaran wabah tersebut. Namun, pengerahan aktivitas yang menggunakan social media juga bisa berdampak buruk ketika massive menyerang dan mengintimidasi kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap orang yang diatur dalam konstitusi Negara Indonesia.

Fenomena meningkatnya penggunaan social media sebagai alat membangun opini public membuka peluang terhadap lahirnya profesi baru yang disebut buzzer. Di era post truth  saat ini yang menjadi sorotan bukan hoax tidaknya suatu pemberitaan melainkan sejauh apa pemberitaan tersebut viral dan menjadi perbincangan banyak orang. Membangun opini didalam masyarakat seolah-olah opini dengan rating tertinggi adalah sebuah kebenaran merupakan tujuan buzzer tersebut.

Bahkan dalam menjalankan aktivitasnya sebagai pembangun opini buzzer sering membuat serangan balik terhadap suatu konten yang dianggap mengancam pihak yang dibela olehnya. Beberapa modus yang digunakan memberi label dan stigma, profiling dan stalking, member komentar kebencian dan hinaan hingga membuat klaim sepihak bahwa informasi yang disampaikan adalah Hoax dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Modus tersebut sering disebut dengan Cyberbullying dimana aktivitas tersebut bekerja secara sporadis maupun sistematis.

Aktivitas tersebut akan mengancam ketahanan sebuah Negara apabila terus menerus dipergunakan tanpa memperhatikan nilai kebenaran sebuah informasi. Dengan tingkat pendidikan yang masih relatif rendah serta tingkat kemiskinan yang masih cukup relatif tinggi maka kehadiran media social yang penuh dengan kebencian lama kelamaan akan memicu konflik horizontal dalam tatanan masyarakat itu sendiri.

BUZZER SEBAGAI ALAT POLITIK

Lahirnya revolusi industry 4.0 menghadirkan transformasi didalam tatanan masyarakat dunia dimana sebahagian besar kerja manusia telah didukung oleh teknologi yang bukan hanya memudahkan/ menggantikan peran kerja manusia namun lebih jauh lagi membuat dunia semakin terjangkau seolah kehilangan batas- batas Negara. Penggunaan Internet di Indonesia tahun 2020 disebutkan mencapai 175,4 juta pengguna. Berdasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya. Awalnya, hakikat peran media sebagai trajektori komunikasi politik pemerintah dengan warga negara. Mayoritas masyarakat Indonesia memperoleh informasi politik melalui berbagai jenis penggunaan media, baik tradisional ataupun digital.

Tren penggunaan media social sebagai sarana membangun konektivitas ternyata menarik perhatian termasuk aktivitas politik yang tentunya membutuhkan sarana komunikasi dan informasi dalam menyukseskan tujuan politiknya. Aktivitas Buzzer tidak dapat dilepaskan dengan platform politik yang umumnya dilakukan dengan mobilisasi massa berubah menjadi viltual (online). Transformasi ini awalnya dipandang postif terlebih karena konten konten yang disajikan dirual virtual cukup kreatif dan dipandang pemilih sebagai harapan yang baik.

Penelitian berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation oleh Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019) mengungkap bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia telah  menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/ partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah perhatian masyarakat. Ini dapat diamati dengan berbagai informasi yang menyesatkan media atau publik dan memperkuat pesan dengan terus-menerus dengan bentuk tagar pada social media. Media sosial yang pernah disanjung sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi kini dikritisi karena perannya yang mengamplifikasi disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan institusi demokrasi.

Perlu disadari bahwa hadirnya buzzer tidak boleh dipandang sederhana oleh pemerintah. Tidak hanya dapat mencederai era kebebasan berpendapat, tidak terkontrolnya buzzer yang terus menarasikan disinformasi dan bersikap destruktif tentu menjadi ancaman tersendiri bagi terciptanya disintegrasi bangsa.

MENGANCAM KETAHANAN NASIONAL

Perubahan zaman merupakan hal yang tidak terhindarkan, di era revolusi industri 4.0 pekerjaan manusia dimudahkan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang salah satunya menjadi cikal bakal hadirnya buzzer yang memudahkan kerja promosi melalui social media. Kemampuan media social dalam membangun gelombang kekuatan yang dapat mengancam ketahanan dan keamanan suatu Negara dapat dilihat dari Issue protes kematian George Floyd yang jadi korban kekerasan dan rasisme di Amerika dimana gerakan gerakan yang dibangun di social media bermuara pada aksi demonstrasi di Amerika yang bukan hanya melibatkan banyak orang namun lebih dari itu menyebabkan kekacauan yang meluas ke seluruh bagian Negara tersebut.

Dengan tingkat pendidikan dan Kesejahteraan di Indonesia yang masih relatif rendah dan hadirnya perseteruan politik dengan menggunakan platformsocial media sebagai media kampanye dikhawatirkan akan memicu gelombang konflik di masyarakat yang jika dibiarkan terus menerus dapat mengancam ketahanan nasional. Realitas tentang perkembangan teknologi informasi yang baru kenyataannya menghasilkan informasi yang berlimpah sehingga meningkatkan kesulitan menemukan informasi yang tepat untuk mengevaluasi kualitasnya. Informasi keliru menjadi berbahaya karena jika dikonsumsi secara berkepanjangan akan meningkatkan problem kesalahan informasi yang berkepanjangan hingga lebih jauhnya pada pengelompokan sosial ideologis yang akibatnya menjadi momok menyeramkan bagi nilai nasionalisme dan kebhinekaan Indonesia yang membutuhkan pendekatan kajian multidisiplin yang lebih terintegrasi dengan menggabungkan kajian mendalam terhadap Ideologi dan Politik, Pendidikan Sosial dan Kebudayaan yang tidak dapat dijelaskan oleh kajian konvensional.

Penulis: Yohana Maris Budianti
(Asisten Peneliti Pusat Riset Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *