Utamanews.id – Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna pada hari senin 05/10/2020.
Pemerintah dan DPR RI seolah-olah mengambil momentum dari pagebluk Covid-19 kali ini untuk dapat segera mengesahkan RUU omnibuslaw Cipta Kerja menjadi undang-undang yang kesannya bahwa, pengesahan kali ini sangatlah tidak substansial dan terkesan terburu-buru seperti sedang mengejar setoran.
Wajar saja pasalnya persidangan yang dilaksanakan pada tengah malam 03/10/2020 (minggu malam) dan juga paripurna yang dijadwalkan dilaksakan pada tanggal 08 oktober 2020 dan dipercepat pada hari senin 05 oktober 2020 ini menimbulkan banyak spekulasi dan kecurigaan di kalangan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut sikap KMHDI secara tegas menyoroti UU Omnibuslaw tersebut yang cacat prosedural, dan juga mendapatkan berbagai bentuk penolakan dari berbagai kalangan masyarakat yang terdiri dari kaum perkerja dan buruh.
“Selain pembahasannya yang cacat prosedural dan menimbulkan polemik dari berbagai kalangan masyarakat, sejak masih dalam Rancangan undang-undang sikap kami (KMHDI) tegas dan konsisten menolak RUU Omnibuslaw ini. Ada beberapa pasal kontroversial yang kami soroti yaitu pasal 88c ayat 3, pasal 79 ayat (2) huruf b, pasal 156 ayat 2 dan pasal 59 ayat 4”
Tegas I Kadek Andre Nuaba (ketua presidium PP KMHDI)
Pasal-pasal kontroversial tersebut dinilai sangat merugikan para kaum pekerja dan buruh, seperti yang tercantum pada pasal 88c ayat 3 contohnya, upah minimum yang dimaksud pada ayat 1 dan 2 ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
” Menetapkan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan mengindikasikan bahwa RUU ini memunculkan sebuah ketidakpastian upah buruh. kita ambil saja contoh situasi pandemi yang sedang resesi kali ini, bisa saja upah minimum buruh jauh turun dari yang sebelumnya kan?”
Ujar Andre
Andre menambahkan bahwa sikap KMHDI tegas menolak pengesahan UU Omnibuslaw ini, atas dasar pembahasan yang cacat prosedural dan juga masih banyaknya pasal kontroversial yang merugikan pihak pekerja dan buruh. KMHDI akan mencoba mengajukan gugatan penolakan melalui jalur litigasi dan non litigasi.
” RUU ini sudah di ketok palu, selain membangun gerakan melalui ekstra parlemen, KMHDI juga akan mencoba mengajukan penolakan pengesahan UU Omnibus melalui jalur Judicial Review”
Tutup Andre.
Lampiran pasal kontroversial:
Pasal 88c ayat 3
UU ketenagakerjaan
Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:
a. Upah minimum
b. Upah kerja lembur
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f. Bentuk dan acara pembayaran upah
G. Denda dan potongan upah
H. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
I. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional
J. Upah untuk pembayaran pesangon
K. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
pasal 88c ayat 3
UU Cipta Kerja
Bunyi pasal
“Kebijakan pengupahan sebagai mana dimaksudkan pada ayat (2) meliputi:
a. Upah minimum
b. Struktur dan skala upah
C. Upah kerja lembur
d. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pelerjaan karena alasan tertentu
e. Bentuk dan cara pembayaran upah
f. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah dan
g. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
pasal 79 ayat (2) huruf b
UU Ketenagakerjaan
Bunyi pasal:
“Waktu istirahat dan cuti sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
Pasal 79 ayat (2) huruf b
UU cipta kerja
Bunyi pasal:
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
B. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
pasal 156 ayat 2
UU ketenagakerjaan
Bunyi pasal:
(2) perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:…
Pasal 156 ayat 2
UU Cipta Kerja
Bunyi pasal:
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
pasal 59 ayat 4
UU Ketenagakerjaan
Bunyi pasal:
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waltu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 59 ayat 4
UU Cipta kerja
Bunyi pasal:
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah”. (rd).