“Can you not understand that liberty is worth more than just ribbons?”
George Orwell, Animal Farm
Masa Pandemi COVID-19 di indonesia, korporasi seperti berlomba melakukan PHK besar-besaran kepada para buruh dengan dalih hal tersebut dilakukan karenakan kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak industrial agar terhindar dari wabah COVID-19 semakin meluas. Mereka para pengusaha pun menolak mengambil resiko untuk memperkerjakan para buruh ditengah wabah COVID-19 ini. Berdasarkan data Kemenaker, sebanyak 1.205.191 orang pekerja dari sektor formal dirumahkan, dan 282 ribu orang tak memiliki penghasilan, totalnya 2,8 juta orang kehilangan pekerjaan. Para buruh untuk sementara waktu tanpa diupah ataupun diberikan pesangon dengan dalih keadaan kahar atau yang lebih dikenal dengan sebutan force majeur.
Diterpa pandemi COVID-19, prioritas anggaran dan konsentrasi pemerintah memang sedang difokuskan untuk penanggulangan wabah tersebut. Ditengah polemik serangan virus tersebut, sempat masuk dalam pembahasan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja walau akhirnya pembahasannya ditunda karena menerima gelombang penolakan dari masyarakat maupun serikat pkerja. Kehadiran RUU tersebut dinilai menimbulkan depresi bagi para buruh ditengah situasi pagebluk ini. Draft UU yang telah di publikasikan sejak tanggal 12 Februari 2020 ini mendapat kritik negatif juga dinilai cacat hukum karena tidak melibatkan masyarakat pada prosesnya. Draft ini bahkan dianggap sangat merugikan para buruh/pekerja di Indonesia, mulai dari penghapusan sistem UMK yang diganti dengan sistem UMP, sistem kontrak kerja yang tidak memiliki batasan waktu, hingga sistem outsourching yang semakin tidak jelas.
Omnibus Law
Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024 (periode kedua) menyatakan akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Melalui “Omnibus Law” akan dilakukan
penyederhanaan regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Penerapan konsep “omnibus law” dicanangkan oleh Presiden dalam rangka memudahkan pelayanan perizinan dan mendorong peningkatan investasi. Sedikitnya 79 aturan yang dianggap menghambat laju investasi. Rencananya puluhan aturan itu akan dibahas bersama dengan DPR di bawah payung hukum bernama omnibus law.
Definisi Omnibus Law berasal dari bahasa latin “Omnibus”, yang berarti “untuk semuanya”, meliputi seluruhnya, sapu jagat atau terpadu. Menurut Audrey O” Brien (2009), omnibus law adalah suatu RUU (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undan-undang. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu
baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Teknik ini memungkinkan satu RUU terpadu (omnibus bill) yang berisi perubahan
atau bahkan penggantian beberapa UU sekaligus diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan dalam satu kesempatan pengambilan keputusan.
Masalah turunan :
Pada prinsipnya omnibus law harus dilakukan secara penuh kehati-hatian, sehingga tidak memunculkan masalah turunan dalam pelaksanaannya dan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Secara khusus UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak mengatur konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiadaan landasan hukum tersebut berimplikasi pada tidak dapat diadopsinya konsep omnibus law. Meskipun tidak memiliki payung hukum, dalam sejarah politik legislasi di Indonesia, konsep semacam omnibus law pernah diterapkan. Misalnya pada saat mengeluarkan kelembagaan DPRD dari rezim UU MD3 ke rezim undang-undang pemerintahan daerah.
Omnibus Law adalah upaya perbaikan sistem regulasi Indonesia
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat, pada masa pemerintahan Jokowi hingga November 2019, telah terbit 10.180 regulasi. Rinciannya, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri. Data inilah yang menjadi salah satu pertimbangan setuju dengan omnibus law. Omnibus law mendorong upaya memperkuat perekonomian nasional melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberitan fasilitas perpajakan. Salah satu fokus dari omnibus law, adalah untuk menciptakan pekerjaan bagi 7 juta penganggur yang ada.
RUU Omnibus law diharapkan memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Setidaknya ada 3 (tiga) manfaat dari penerapan omnibus law. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundangan-undangan. Ketiga menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Ketok Palu #TolakOmnibusLaw Cipta Kerja
Asumsi bahwa kebutuhan atas investasi luar negeri sebagai dasar pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan juga perlu dicermati. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), beberapa tahun terakhir terjadi pelemahan dampak investasi luar negeri terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk mampu menyerap 5 ribu pekerja sementara pada tahun 2016 jumlahnya menurun menjadi 2 ribu. Padahal, dengan realisasi investasi sebesar Rp 809,6 triliun, jumlah realisasi investasi yang dicapai pada tahun 2019 bisa dikatakan melampaui ekspektasi.
Selain itu, BKPM juga mencatat bahwa jumlah lapangan pekerjaan baru yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih rendah dari sebelumnya. Pada tahun 2013, 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 750 ribu tenaga kerja sedangkan pada tahun 2019 jumlah yang terserap hanya 110 ribu. Hal ini menunjukkan bahwa arah pembangunan ekonomi di Indonesia menghasilkan apa yang disebut dengan “jobless growth” yakni pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti dengan terbukanya jumlah lapangan kerja yang memadai (Li 2013).
Tren “jobless growth” ini memang telah tampak. dan diperkuat oleh agenda liberalisasi ekonomi pasca terjadinya krisis finansial pada tahun 1998 (Tadjoeddin & Chowdhury 2019: 20; lihat juga Aswicahyono, et al 2010; Habibi & Juliawan 2018). Maka dari itu, besaran jumlah investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan baru yang tercipta sehingga kurang mampu memberikan kesejahteraan dan pekerjaan layak bagi kelas pekerja.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan keberatan setidaknya pada pasal kontroversial dan dampak negatif yang ditimbulkan omnibus law Cipta Kerja yakni :
Pasal 88 ayat 3 : Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan
Pasal 88 Ayat 3 dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja menyebut kebijakan pengupahan meliputi tujuh komponen, antara lain upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tak masuk kerja dan atau tidak melakikan pekerjaan karena alasan tertentu, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang dapat dperhitungkan dengan upah, dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh meliputi 11 komponen, antara lain upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon; dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 UU PPLH:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak
hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi
penegakan hukum lingkungan. Bahwa pertanggungjawaban mutlak korporasi itu berusaha diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya. Artinya pemerintah lebih melindungi keberlangsungan korporasi dibanding upaya penegakan hukum secara mutlak berdasarkan UU 32/2009,
Kewajiban AMDAL
Cipta kerja juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha untuk melakukan
kegiatan usahanya. Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait
Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 79 ayat (2) huruf b : Cuti Buruh
Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK) Dalam pasal ini diatur mengenai istirahat mingguan, pasal 79 ayat 2 huruf b UUK menyebutkan: Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Dalam UU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi:
“Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”
Pasal 79 Ayat 2 dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja menyebutkan pekerja atau buruh paling sedikit mendapatkan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu Minggu. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan diatur pekerja atau buruh mendapatkan istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.
Klausul Cuti Haid dan Sakit
Pasal 79 Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja mengatur tentang waktu istirahat dan cuti bagi pekerja atau buruh. Namun dalam beleid ini tidak ditemukan klausul tentang cuti haid bagi pekerja perempuan.
Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya pada pasal 81 disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Pasal 93 diubah, pekerja yang mengambil cuti karena alasan sakit, haid pada hari pertama dan kedua, menikah, istri melahirkan atau keguguran, menjalankan ibadah agama, atau karena anggota keluarga meninggal tidak lagi berhak mendapatkan upah selama cuti (paid leave). Pekerja tidak lagi berhak mendapatkan upah selama cuti (paid leave) bahkan untuk cuti sakit atau haid. Ketentuan paid leave bergantung pada kesepakatan dengan pengusaha dan bukan diatur oleh perundang-undangan. Sangat berdampak pada pekerja perempuan.
Pasal 156 : Pesangon
Pasal 156 diubah Ketentuan pesangon tidak banyak berubah secara signifikan. Batas maksimal upah penghargaan masa kerja (UPMK) menjadi 21 tahun masa kerja dengan 8 bulan upah. Uang penggantian hak (UPH) tidak lagi diatur melalui hukum dan hanya berdasarkan kesepakatan kerja. Ketentuan pesangon tidak banyak berubah secara signifikan. Namun dengan meluasnya kerja fleksibel (kontrak dan outsourcing maka pekerja semakin rentan mendapatkan pesangon dengan jumlah minimal atau bahkan tanpa pesangon sama sekali.
Pasal 59 ayat 4 : Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Padahal dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dalam Bab Ketenagakerjaan Pasal 59 Ayat 4 UU Cipta Kerja disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Didalam ketentuan sebelumnya yang membatasi pekerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada pekerjaan di luar kegiatan pokok atau proses produksi secara langsung dan bersifat sementara (maksimal 3 tahun lamanya) dihapus. Pekerja kontrak bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan dan tanpa batasan waktu. Ketentuan ini memperluas kerja kontrak dan hilangnya jaminan serta kepastian kerja tetap. Semua jenis pekerjaan bisa menggunakan pekerja kontrak (PKWT) dan kerja kontrak bisa lebih dari 3 tahun lamanya.
Upaya untuk menekan upah pekerja serendah-rendahnya melalui RUU Cipta Kerja jelas bermasalah mengingat sudah minimnya ketentuan upah yang telah berlaku selama ini. Padahal, Tadjoeddin & Chowdhury (2019: 4-5) berpendapat bahwa mempertahankan kebijakan upah murah di Indonesia cukup beresiko karena dapat mengakibatkan terbatasnya permintaan efektif domestik (domestic effective demand) sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama sektor industri manufaktur, dan membuat Indonesia terjebak dalam ekonomi yang memiliki produktivitas rendah. Atas dasar diatas setidaknya ada tiga poin utama dampak negatif penerapan Omnibus law Cipta Kerja, yakni :
Omnibus Law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Prinsip pembentukan undang-undang, harus disusun dengan hati-hati baik di tingkat
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, maupun pengundangan. Penyusunan omnibus law yang cenderung cepat dikhawatirkan memunculkan pelanggaran dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki segala tindakan pemerintah didasari hukum.
Oomnibus law dalam praktik penyusunannya telah mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik. Di beberapa negara, pembentukan UU Omnibus law didominasi oleh pemerintah atau DPR. Ruang partisipasi publik menjadi kecil, bahkan hilang. Prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam membuat undang-undang adalah nafas utama dalam negara demokratis. Pelanggaran atas prinsip ini tentu mencederai prinsip demokrasi.
Omnibus law Cipta Kerja memiliki pasal yang tidak berpihak pada kesejahteraan buruh dan kelestarian lingkungan. UU ini telah mengabaikan kemanusiaan dan upaya dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.
Tiga hal tersebut tentu berdampak besar terhadap kesejahteraan kaum buruh yang digadang-gadang akan dilindungi lewat regulasi ini. Kesejahteraan buruh dipertaruhkan. Pimpinan Pusat KMHDI
menyatakan sikap untuk Mencabut Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja. Selamat datang dalam era perbudakan modern. Berjuanglah, bersatulah, agar suaramu lebih kencang terdengar.
Ditulis oleh: Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI)
Referensi
BPS (2019) Analisis Hasil Se2016 Lanjutan Potensi Peningkatan Kinerja Usaha Mikro Kecil.
BKPM (2020). Laporan berkala BKPM.
Lane, M. (2018). Singapore | 18 January 2018 The Politics of Wages and Indonesia ’ s Trade Unions.
(4), 1–9.
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja 2020
Stiglitz,J.E. (2000). “Capital Market Liberalization , Economic Growth , and Instability”. World Development, 28(6), 1075–1086.
Yustik, Ahmad Erani (2020) Problem Ekonomi dan Prospek Omnibus Law. Makalah Presentasi, pada 13 Februari 2020 di Yogyakarta.