Harga Diri Bawaslu Dipertanyakan

Utamanews.id- Di berbagai media online nasional dijelaskan bahwa Tito sudah mengingatkan Bawaslu dan KPU untuk tidak mendiskualifikasi paslon jika sudah ada penetapan dari KPU. Ini juga ditegaskan mantan Kapolri itu kepada Ketua Bawaslu RI Abhan dan Arief Budiman saat masih menjabat Ketua KPU RI. Keterangan ini ditegaskan tida tanpa maksud berpihak kemanapun.

Keterangan Tito ini senada dengan yang dilontarkan oleh Ahli Ilmu Politik Provinsi Lampung, Dr. Ari Darmastuti. Dia menjelaskan dalam berbagai system pemilihan di dunia, kemenangan mutlak seperti yang terjadi di Pilwakot Bandarlampung.
“Tidak boleh diperkarakan secara hukum baik admininstrasi maupun non administrasi. Dalam setiap sistem pemilihan di dunia, selalu diatur marjin yang mengatur mengenai hasil pemilu. Kemenangan mutlak bisa diperkarakan dengan batas suara 5 persen. Kurang dari itu tidak bisa,” kata dia.

Kajur Hubungan Internasional Universitas Lampung ini menegaskan dalam hasil pilwakot Bandarlampung sudah jelas kemenangan rakyat melalui suara 57 persen Eva-Deddy. Di mana, secara moral dan hokum ini tidak layak untuk diperkarakan. Sebab, hasil suara lawannya, M.Yusuf Kohar-Tulus Purnomo (Yutuber) dan Rycko Menoza-Johan Sulaiman (Ryckojos) tidak bisa menyamai hasil kemenangan.

“Saya kecewa. Kalau kalah ya akui saja. Saya bukan pendukung Eva, terus terang saya secara pribadi mendukung dan memilih mas Yusuf Kohar. Tapi, jika ada pebatalan ini secara moral akan mencabut kehendak rakyat. Jika ini dianulir, siapa lagi yang mau kita ikuti?,” tandasnya.

Dalam sidang TSM di Bawaslu juga, putusan yang memerintahkan KPU Kota Bandarlampung untuk mendiskualifikasi paslon 3 dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat.
Dijelaskan dia, ketentuan di pasal 73 ayat satu UU no 1 2015 tentang pilkada menyebutkan, sanksi bisa dilakukan jika secara pribadi atau tim kampanyenya terdaftar di KPU yang menjanjikan uang dan sebagainya dengan mepengaruhi hasil suara.

“Pertanyaannya, yang melakukan janji itu, tidak ada Eva dan timnya. WaliKota dalam undang-undang itu terpisah. Kalau ASN disanksi lewat Komisi ASN. Itu masuk pidana pemilu, bukan administrasi. Jika ASN sudah ada diberikan sanksi, tidak bisa juga dijadikan dasar karena prosesnya terpisah,”tegasnya.

Kata dia, dalam ketentuan pasal 73 itu juga pembatalan bisa dilakukan dalam kondisi yang sama dengan tahapan yang sedang berlangsung. Di mana, fungsi bawaslu adalah melakukan pengawasan sesuai dengan tahapan yang berlangsung.

“Ditambah lagi, faktanya tidak ada temuan satu pun mengatakan ada pelanggaran kategori TSM. Apakah ada rekomendasi bawaslu menggantikan paslon di tahapan itu? Kalau ketidakkompetenan Bawaslu tidak berfungsi, tidak bisa menjadi dasar logika mendiskualifikasi paslon. Bawaslu Punya harga diri enggak sih?Tidak bisa menemukan indikasi pelanggaran TSM saat tahapan penetapan,” kata dia.

Dia juga menjelaskan tentang dictum yang biasa digunakan oleh orang hokum yakni dengan non retroactivity principle. “Oraang yang melanggar hokum 10 tahun lalu, tidak bisa dihukum dengan aturan yang sekarang. Apa yang sudah terjadi juga tidak bisa dianggap tidak terjadi. Ini peristiwa politik dan Bawaslu, KPU sudah menandatangani termasuk paslon saat penetapan pencalonan. Ini tidak bisa kita anggap tidak terjadi. Bagaimana akhirnya malah dianulir sendiri,” kata dia.

Dia menganalogikan prinsip hokum ini dalam peristiwa kemerdekaan RI. Secara politik, Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Namun, orang hokum menilai pada 18 Agustus 1945.
“Tapi pada kenyataannya dictum mana yang dipakai? Kan 17 Agustus. Ini peristiwa politik, tidak bisa senaknya saja membatalkan yang sudah terjadi. Ini kan adminisrasi. Kalau dianulir, apa mau pemilihan ulang? Atau jatuh ke paslon dua?Saya kira alangkah tidak bermoralnya itu,”ujarnya.

Dalam memori sidang TSM Bawaslu juga dijelaskan, yang menjadi dasar TSM adalah bantuan Covid-19 yang diberikan pemkot. “Sekarang begini saja, secara kuantitas bantuan 80 ribu sembako itu seper berapa suara yang diapat Eva-Deddy?Apa iya itu TSM?Apa ada buktu setiap penerima itu memilih Eva-Deddy?Kalau ada saksi linmas dipecat mungkin karena kesakithatian saja,” jelasnya.

Kemudian, sambung dia, insentif PKK yang diasumsikan TSM. DIa menegaskan, pendanaan linmas dan PKK maupun organisasi lainnya dilakukan tidak hanya dalam konteks menjelang pilkada saja.
“Ini kan asumsinya sangat prematur, jika diasumsikan ke pilkada. Kan memang tugasnya pemkot. Kalau tidak diberikan bantuan ya nanti apa kerjanya pemkot?Kalaupun terjadi kecenderungan memilih saya kira atas dasar keterikatan psikologis yang terjadi bertahun-tahun, bukan hokum,” katanya.

Sementara, terkait komentar Mendagri yang menyebutkan bahwa KPU dan Bawaslu tidak mendiskualifikasi Pemenang Pilkada, DPP Partai Demokrat melalui Deputi Bappilu ikut menanggapi

“Kami menyayangkan sikap Mendagri yang turut mengomentari persoalan diskualifikasi paslon pilkada, seyogyanya mendagri harus netral tidak terkesan berpihak pada calon tertentu dengan komentar yang kontraproduktif, mendagri wajib tunduk pada undang undang baik dalam sikap maupun statementnya” ungkap Imer Darius

“Jika Mendagri melarang pihak pihak yang ikut dalam pilkada menggugat setelah ada pemenang, maka ubah dahulu undang-undang pemilu yang memungkinkan adanya mekanisme sengketa setelah hari H pemilihan, karena pelanggaran itu banyak terjadi di hari H atau seminggu sebelum pencoblosan. Maka patut juga disayangkan KPU terlalu terburu-buru dalam menetapkan pemenang tanpa menunggu hasil putusan gugatan di Bawaslu” lanjutnya.

Imer Darius selanjutnya menilai bahwa Mendagri terlalu terburu buru mengeluarkan statement tetapi tidak memahami aturan pilkada secara baik. “Saya berharap Mendagri tidak melakukan presure dan intervensi politik, biarkan hukum yang berjalan, percayakan kepada Bawaslu KPU dan MA sebagai gawang hukum tertinggi Pilkada,”katanya.

Bawaslu Provinsi Lampung bersikap atas statemen Mendagri Tito Karnavian yang sudah menyampaikan kepada Bawaslu dan KPU agar tidak mendiskualifikasi Paslon Kada melebihi tahapan.

Ketua Bawaslu Provinsi Lampung, Fatikhatul Khoiriyah mengatakan, pada dasarnya dalam pelaksanaan pengawasan dan memutus sidang pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Kita melaksanakan kewenangan yang ada di undang-undang. Menerima, memeriksa, dan memutuskan. Sesai dengan waktu yang dimandatkan undang-undang. Tidak melebihi,” kata dia dalam grup media, Rabu (20/1).
Mengenai putusan dilakukan setelah melewati rekapitulasi pemungutan suara di KPU, dia megatakan merujuk pada regulasi yang ada, batas waktu penyampaian laporan pilkada paling lambat pada 9 Desember 2020 dan prosesnya dilakukan 14 hari kerja setelah laporan diregistrasi.
“Jadi saya kira tidak ada yang dilanggar,” katanya.(rd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *