Dewan Cah Angon : Hakim Indonesia Antara “Yang Mulia” dan “Yang Ternoda”

Utamanews.id – Beberapa saat yang lalu dunia hukum Indonesia dikejutkan dengan adanya berita pengurus Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi) yang mengirimkan surat bernomor: 01/ Kppha/VI/2020 tertanggal 17 Juni 2020 kepada Ketua MA, M. Syarifuddin yang mempertanyakan apakah sebutan “Yang Mulia” masih pantas disematkan kepada semua hakim atau hakim agung termasuk hakim konstitusi yang ada di Indonesia?

Surat tersebut bagaikan petir yang menyambar disiang hari bagi dunia hukum Indonesia. Pasalnya jika surat tersebut dikirimkan oleh pihak umum yang tidak mengerti hukum maka itu adalah hal biasa, namun jika yang mengirimkan adalah para mantan Hakim Agung, artinya ada keresahan besar dalam sistem peradilan di Indonesia.

Para mantan Hakim tersebut beralasan dalam masyarakat dan media sosial sudah ramai membicarakan adanya instruksi untuk menyebut Hakim dengan sebutan “Yang Mulia”. Padahal, sejatinya tidak ditemukan dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seorang saksi, tersangka, jaksa atau pengacara untuk memanggil Hakim dengan sebutan “Yang Mulia” dalam setiap persidangan.

Hal ini mengigatkan saya pada adagium ketika masa kuliah, Dosen Ilmu Hukum saat itu mengatakan bahwa Hakim merupakan perwakilan Tuhan didunia, maka diembankan kepadanya keistimewaan untuk memutuskan keadilan diruang sidang. Mungkin, inilah keistimewaan sehingga para hakim disebut dengan panggilan “Yang Mulia” diruang sidang.

Namun semulia apapun seorang Hakim, dia tetaplah manusia yang tak luput dari kesalahan. Catatan KPK menerangkan telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sedikitnya kepada 24 orang hakim diseluruh Indonesia pada tahun 2018. Hal itu diberitakan oleh portal berita online detik.com dengan judul ‘Deretan Hakim yang Kena OTT KPK’ pada 29 November 2018, dan mungkin meningkat di tahun 2020 ini.

Ungkapan yang selalu kita dengar yaitu “Hukum Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas”, seolah meragukan kenetralan para Wakil Tuhan tersebut dalam memberikan keadilan diruang sidang. Keraguan masyarakat ini yang membuat Dewan Pembina KKPHA Harifin A Tumpa menjadi risih saat dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia” oleh para Hakim Yunior di luar ruang sidang, seperti dikutip oleh portal Hukumonline.com pada 26 Juni 2020.

Walau mantan Hakim MA periode 2009-2012 tersebut menilai panggilan “Yang Mulia” bagi Hakim tidak mencerminkan antara kenyataan dengan perbuatan, bahkan terdengar seperti sindiran, namun secara keilmuan hukum yang sudah berabad-abad, posisi hakim ditempatkan sebagai Wakil Tuhan di ruang sidang, tentu tidak dapat diubah.

Terdapat beberapa landasan peraturan maupun perundang-undangan yang secara jelas, tidak mengindahkan panggilan “Yang Mulia” tersebut. Antara lain :

  1. Secara undang-undang, dalam Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 telah membatalkan panggilan “Yang Mulia” dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara-Saudari, sebab panggilan itu dianggap sebagai sisa-sisa peninggalan feodalisme dan kolonialisme.

Bunyi Tap MPRS RI No XXXI/MPRS/1966, antara lain : “Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian Bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan “Paduka “Yang Mulia”, “Yang Mulia”, Paduka Tuan menjadi Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari”.

  1. Bahkan dalam peraturan MK No. 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Dalam Pasal 6 Peraturan MK No. 19/2009 itu diatur mengenai kewajiban para pihak yang berperkara, saksi, ahli, dan pengunjung sidang untuk bersikap tertib dan hormat kepada hakim dalam persidangan. Namun tidak tercantum adanya peraturan yang mengharuskan seseorang menyebut hakim konstitusi dengan sebutan ‘Yang Mulia’.
  2. Surat edaran Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (SE Dirjen Badilum MA) No. 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (tatib) Menghadiri Persidangan. Dalam tatib tersebut diatur pengunjung sidang wajib bersikap sopan, tertib, tidak merokok, tidak berbicara satu sama lain, tidak membawa senjata, dan lain-lain. Dan lagi-lagi, tidak ada poin untuk penyebutan “Yang Mulia”  kepada Hakim.
  3. Ada pula, Peraturan Menteri Kehakiman Tahun 1983 yang mengatur penyebutan kepada hakim hanyalah dengan ungkapan “Saudara Hakim yang Terhormat”, bukan “Yang Mulia”.

Walaupun tidak ada literasi hukum yang ‘dejure’ mengesahkan tentang panggilan “Yang Mulia” kepada hakim, namun setidaknya ungkapan juga ini berlaku di peradilan dunia, baik yang berkiblat pada mazhab hukum Belanda maupun mazhab Inggris, semua sepakat menempatkan Hakim sebagai Wakil Tuhan yang mendapat kewenangan untuk mengadili.

Ungkapan kerisauan para mantan Hakim tersebut, sebenarnya secara tidak langsung menjadi pembenaran predikat “Yang Mulia” itu sendiri. Sebab hanya mahkluk yang mulia lah yang mampu merasakan keresahan akibat tergerusnya nilai-nilai keadilan saat ini.

Saya menyarankan, guna menjaga kemuliaan para Wakil Tuhan tersebut, maka perlu di buat suatu perundangan khusus yang mengatur hukuman bagi Hakim yang terbukti menyalahi ke’Yang Mulia’an nya tersebut. Hal ini tentu akan membuat semua pihak merasa bahwa sudah sepantasnyalah seorang Hakim mendapat predikat “Yang Mulia”, karena mendapat hukuman yang lebih berat dari orang umum, ketika melakukan kejahatan terkait profesinya di ruang sidang.

Bisa juga secara adagium di ruang akademik hukum, perlahan dibentuk sebuah predikat baru yaitu “Yang Ternoda” bagi Hakim-hakim yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya di ruang sidang.

Oleh :
I Made Suarjaya, SH,MH
(Penulis merupakan Putra Lampung asli yang berprofesi sebagai Petani, serta Praktisi Hukum yang kini menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi Lampung, dengan panggilan akrab Dewan Cah Angon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *